BAB 1 MENGENAL AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH ASWAJA/ KE-NU-AN SMA/MA/MAK KELAS XI (SEBELAS) SEMESTER 1 KURIKULUM 2013


    MATERI ASWAJA/ KE-NU-AN SMA/MA/MAK
    KELAS XI (SEBELAS) SEMESTER 1
    KURIKULUM 2013




    Hi, sobat!
    Pada kesempatan kali ini, kami menyajikan Materi  Ke-NU-An, Ahlussunah Waljama’ah An-Nahdliyyah untuk  Kelas 11 Kurikulum 2013 Semester 1 Bab 1 Mengenal Ahlussunnah Wal Jama’ah. Yuk simak penjelasanannya berikut ini!

    KD.3 (PENGETAHUAN): Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan, factual, konseptual, procedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaaan, kebangsaan, kenegaraan, dan perdaban terkait penyebab fenomena dan kejadian serta menerapkan pengetahuan procedural pada bidang kajiannya spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah dalam persepektif Ahlussunnah Wal Jamaah Annahdliyyah.

    KD.4 (KETERAMPILAN): Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrfak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di madrasah/sekolah secara mandiri dan mampu menggunakan metode sesuai dengan kaidah keilmuan dalam persepektif Ahlussunnah Wal Jamaah Annahdliyyah.

    Bab 1 Mengenal Ahlussunnah Wal Jama’ah: Pengertian, Sejarah, Asal-Usul, Prinsip, Ajaran Akidah, Sumber Hukum, Tasawuf, & Maqam-Maqamnya

    A. Pengertian Ahlussunnah Waljama’ah 

    Ahlussunnah Waljama’ah seringkali dikenal dengan “Aswaja” dan atau juga disebut “Sunni”. Selain itu, terdapat beberapa pemahaman tentang Ahlussunnah Waljama’ah, yaitu:
    1. Dalam sejarah Islam, Ahlussunnah Waljama’ah  merujuk pada istilah ini merujuk tandingan (counter discourse) terhadap berkembangnya paham Muktazilah di dunia Islam, terutama pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah.
    2. Di kalangan umat Islam, Ahlussunnah Waljama’ah merupakan golongan umat yang berpegang teguh pada ajaran Nabi Muhammad Saw.  
    Sementara itu, Al-Hasyiyah  Asy-Syanwani  mendefinisikan Ahlussunnah Waljama’ah sebagai pengikut Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan pengikut imam empat madzhab (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali).


    B. Sejarah Terbentuknya Firqah-firqah dalam Islam

        Peristiwa 1. Sesudah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, sebagian sahabat-- termasuk orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman--membaiat Ali menjadi Khalifah. Sementara itu, sebagian sahabat menghendaki para pelaku pembunuhan Khalifah Utsman diadili dahulu sebelum pembaiatan khalifah yang baru. Hal ini yang kemudian menimbulkan fitnah di kalangan sebagian sahabat. Oleh karena itu, legitimasi kekhalifahan Ali tidak mencapai seratus persen dari umat Islam saat itu.
        Peristiwa 2. Orang-orang yang tidak menginginkan persatuan umat Islam untuk memecah belah umat hingga terjadi Perang Jamal (perang unta). Parang Jamal adalah perang antara Sayyidina Ali karramallahu wajhah dengan Sayyidatina Aisyah ummul mukminin radliyallahu ‘anha. Disebut dengan perang Jamal karena Aisyah mengendarai Unta.
        Peristiwa 3. Terjadinya Perang Siffin antara pihak Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Mu’awiyyah. Dalam Perang Siffin tersebut pasukan Ali hampir memenangkan peperangan. Akan tetapi, atas ide Amr bin Ash, pasukan Mu’awiyah kemudian mengajak melakukan tahkim (damai) dengan mengangkat mushaf. Atas desakan para qurra’, Khalifah Ali menyetujui tahkim terkait peletakan jabatan dari masing-masing pihak, baik Ali maupun Mu’awiyah. Pihak Mu’awiyah diwakili oleh Amr bin Ash sedangkan pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari.
        Sebagai seorang yang bertakwa dan konsisten terhadap perjanjian, Abu Musa mengumumkan peletakan kedudukan Khalifah yang dipegang oleh Ali. Ketika Amr bin Ash mendapat giliran untuk mengumumkan hasil pembicaraan, ternyata ia mengatakan yang berbeda dari kesepakatan. Karena Ali meletakkan jabatan, maka Muawiyahlah yang naik jabatan. Tentu hal ini sangat merugikan pihak Ali. Ali pun enggan melepaskan kedudukannya hingga terbunuh.
        Peristiwa 4. Tahkim Shiffin ini menimbulkan kekecewaan besar bagi pihak Ali. Bahkan  sebagian  pengikut  Ali  keluar  dari  barisan  Ali.  Golongan ini disebut dengan Khawarij yang menganggap baik Muawiyah maupun Ali keduanya bersalah. Muawiyah dianggap merampas kedudukan Khalifah yang dimiliki Ali sedangkan Ali bersalah karena menyetujui tahkim padahal dia di pihak yang benar. Selain itu, terdapat golongan yang kedua adalah golongan Syi’ah yaitu golongan yang mendukung Ali. Dan golongan yang ketiga adalah golongan Jumhur. Demikian, Islam pecah menjadi banyak sekte atau firqah. 

    C. Asal-usul Ahlussunnah Waljama’ah

        Berbagai macam aliran pemikiran muncul di kalangan umat Islam. Syi’ah (aliran ini juga terpecah menjadi banyak seperti Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Imamiyah, Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, dan sebagainya), Khawarij, Muktazilah, Murji’ah, dan sebagainya. Pada akhir abad ke-3 H bertepatan dengan masa berkuasanya Al- Mutawakkil, muncul dua orang tokoh yang menonjol waktu itu, yaitu Abu Hasan Al-Asy’ari (260 H - + 330H) di Bashrah dan Abu Manshur Al-Maturidi di Samarkand. 
        Meskipun pada taraf tertentu pemikiran  kedua tokoh ini sedikit ditemukan perbedaan, namun mereka secara bersama-sama bersatu dalam membendung kuatnya gerakan hegemoni Muktazilah yang dilancarkan para tokoh Muktazilah dan pengikutnya. 
        Dari kedua pemikir ini selanjutnya lahir kecenderungan baru yang mewarnai pemikiran umat Islam waktu itu. Bahkan, hal itu menjadi mainstream (arus utama) pemikiran-pemikiran di dunia Islam yang kemudian mengkristal menjadi sebuah gelombang pemikiran keagamaan sering dinisbatkan pada sebutan Ahlussunnah Waljama’ah yang kemudian populer dengan sebutan Aswaja
        Hal ini bukan berarti Ahlussunnah Waljama’ah baru ada sesudah Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Pada hakikatnya Ahlussunnah Waljama’ah sudah ada sebelumnya. Terbukti golongan ini dalam hal fikih berkiblat kepada salah satu dari keempat imam madzhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali).


    D. Prinsip-prinsip Ahlussunnah Waljama’ah 

        Ahlussunnah Waljama’ah memiliki empat prinsip, yaitu Tawasuth (pertengahan/jalan tengah), I’tidal (tegak), Tawazun (seimbang). dan Tasamuh (Toleran).

        Tawasuth berarti pertengahan, diambil dari firman Allah dalam QS Al-Baqarah: 143 yaitu:

    وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

    Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu." (QS Al-Baqarah: 143)

        I’tidal artinya tegak lurus, tidak condong ke kanan-kanan atau ke kiri-kirian, diambil dari kata al-’adlu, yang berarti adil atau I’dilu yang berarti berbuat adillah yang terdapat dalam firman Allah dalam QS Al- Maidah: 8 yaitu:

    يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

    Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang  yang  selalu  menegakkan  (kebenaran)  karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS Al- Maidah: 8)

        Tawazun artinya keseimbangan, tidak berat sebelah, dan tidak kelebihan satu unsur atau kekurangan satu unsur dan kehilangan unsur yang lain. Kata tawazun diambil dari kata al-waznu atau al-mizan yang artinya alat penimbang, diambil dari firman Allah dalam QS Al-Hadid: 25 yaitu:

    لَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنٰتِ وَاَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتٰبَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِالْقِسْطِۚ وَاَنْزَلْنَا الْحَدِيْدَ فِيْهِ بَأْسٌ شَدِيْدٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗ وَرُسُلَهٗ بِالْغَيْبِۗ اِنَّ اللّٰهَ قَوِيٌّ عَزِيْزٌ

    Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS Al-Hadid: 25)

        Tasamuh artinya toleran atau mau memahami perbedaan. Tawasuth, i’tidal, tawazun dan Tasamuh di atas bukanlah serba kompromistis dengan mencampuradukkan semua unsur (sinkretisme). Juga bukan mengucilkan diri dan menolak pertemuan dengan unsur apa-apa. Karakter tawasuth dalam Islam adalah karena memang sudah semula Allah meletakkan dalam Islam segala kebaikan, dan segala kebaikan itu pasti ada di antara dua ujung tatharuf, sifat mengujung, ekstrimisme.


    E. Ajaran Akidah Ahlussunnah Waljama’ah 

        Akidah Ahlussunnah Waljama’ah adalah akidah yang moderat. Tidak terlalu ekstrim ke kanan seperti Jabbariyah tidak terlalu ekstrim ke kiri (Qadariyah). Ahlussunnah mengakui bahwa perbuatan manusia itu diciptakan oleh Tuhan, tetapi manusia memiliki andil juga dalam perbuatannya yang disebut dengan kasb. Sementara golongan Jabbariyah berpendapat bahwa semua perbuatan manusia diciptakan oleh Allah dan manusia tidak memiliki andil sama sekali dalam perbuatannya. Sebaliknya golongan qadariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh dirinya sendiri. Tuhan tidak turut campur dalam perbuatan manusia.
       Dalam soal mengkafirkan orang lain, Ahlussunnah juga sangat berhati-hati. Ahlussunnah tidak menganggap orang mukmin yang berbuat dosa itu kafir dan tidak pula fasik. Tetapi ia adalah mukmin yang berdosa. Kelak di akhirat dihukum sesuai dengan dosa yang dilakukannya di dunia.
        Dalam hal melihat Allah, Ahlussunnah berpendapat bahwa kelak di surga orang mukmin bisa melihat Allah sedangkan di dunia manusia tidak bisa melihat Allah. Pendapat ini berbeda dengan pendapat Mu’tazilah yang menyatakan orang mukmin tidak bisa melihat Allah di dunia dan di akhirat.
       Mengenai Al-Qur’an, Ahlussunnah berpendapat bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah dan bukan makhluk. Berbeda dengan pendapat Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk.
        Mengenai antropomorfisme, Ahlussunnah percaya bahwa Allah memiliki mata dan tangan, tetapi tidak bisa disamakan dengan mata dan tangan manusia. Sedangkan Ahlussunnah Maturidiyah berpendapat bahwa ayat-ayat tentang antropomorfisme harus ditakwilkan. Tangan Allah berarti kekuasaan Allah, wajah Allah berarti Dzat Allah, dan mata Allah berarti pandangan Allah.
        Mengenai sifat, Ahlussunnah berpendapat bahwa Allah memiliki sifat tetapi sifat Allah berbeda dengan sifat makhluk. Berbeda dengan muktazilah yang berpendapat bahwa Allah tidak memiliki sifat. Mengenai keadilan Tuhan, Ahlussunnah berpendapat bahwa keadilan Tuhan itu adalah menempatkan sesuatu sesuai dengan tempat yang sebenarnya. Jadi, tidak ada sesuatupun yang mewajibkan Tuhan. Sebab jika Tuhan memiliki kewajiban berarti Tuhan terpaksa.


    F. Sumber Hukum Ahlussunnah Waljama’ah dalam Fikih 

        Golongan Ahlussunnah Waljama’ah berpendapat bahwa sumber hukum dalam fikih itu adalah: 1. Al-Qur’an, 2. Hadits, dan 3. Ijtihad. Al-Qur’an dan hadits menjadi sumber hukum pertama dan kedua dalam Agama Islam adalah kesepakatan seluruh ulama. Adapun ijtihad, ada banyak ragamnya. Ada ijtihad kolektif yang biasa disebut dengan ijmak dan ada ijtihad individu. Ijtihad individu menggunakan qiyas atau analogi, istihsan, dan sebagainya.
        Menurut faham Ahlussunnah Waljama’ah seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk berijtihad tidak diperbolehkan mengambil hukum langsung dari sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan hadits sehingga ia harus memilih salah satu madzhab. Sebab jika ia langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan hadits berarti dia telah berijtihad sendiri. Padahal syarat-syarat ijtihad sangat berat. Diantaranya adalah harus betul-betul memahami Al-Qur’an dan hadits, mengetahui asbabun nuzul dan asbabul wurudnya, mengetahui tafsirnya, memahami bahasa Arab, dan masih banyak syarat lain yang sulit untuk dicapai oleh orang pada zaman sekarang.


    G. Tasawuf 

        Dalam Agama Islam dikenal istilah iman, islam, dan ihsan. Tasawuf adalah cerminan dari ihsan. Menurut Rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan dari Umar bin Khathab, ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatnya, meskipun kau tidak melihat-Nya sesungguh- nya Dia melihatmu
        Banyak ulama yang mendefinisikan tasawuf tersebut. Syekh Abul Qasim Al-Junaidi bin Muhammad Al-Kazzaz An-Nahwandi mendefinisikan bahwa tasawuf adalah hendaknya engkau senantiasa bersama Allah tanpa adanya perantara. Dalam tasawufpun kalangan Ahlussunnah Waljama’ah juga selektif, artinya kalangan Ahlussunnah Waljama’ah tidak menerima faham wahdatul wujud (manunggaling kawula Gusti).
        Dalam perspektif Ahlussunnah Waljama’ah tasawuf harus berlandaskan syari’at. Salah satu platform Ahlussunnah Waljama’ah adalah “hakekat tanpa syari’at adalah bathil sedangkan syariat tanpa hakekat adalah sia-sia.” Kalangan Ahlussunnah Waljama’ah menolak tasawuf yang mengatakan bahwa apabila manusia sudah mencapai hekekat maka ia tidak lagi menjalankan syari’at sebab kewajiban menjalankan syariat itu agar manusia menjadi baik. 
        Bagi kalangan Ahlussunnah Waljama’ah kewajiban menjalankan syari’at berlaku bagi siapa saja. Nabi Muhammad yang merupakan manusia terbaik saja tetap menjalankan syari’at, apalagi orang lain? Oleh karena itu, yang menjadi tokoh-tokoh panutan dalam tasawuf adalah seperti Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, Imam Al-Ghazali, Syaikh Junaid Al-Baghdadi, Abu Hasan As Syadzili dan para tokoh-tokoh tasawuf lain yang tidak meninggalkan syari’at.


    H. Mengenal Maqam-maqam dalam Tasawuf 

        Bentuk  jamak  dari  maqam  adalah  maqamat,  yaitu  hal  yang dibahas dalam berbagai bentuk di dalam aliran-aliran tasawuf, meskipun kesemuanya diawali dari taubat. Para ulama ahli tasawuf mengemukakan tertib maqamat yang berbeda-beda. Berikut ini adalah para ahli tasawuf yang mengemukakan tingkatan maqamat-maqamat tersebut:

    Ulama

    Tingkatan Maqamat

    As Siraj Ath Thusi

    1. taubat,

    2. wara’,

    3. zuhud,

    4. fakir,

    5. sabar,

    6. tawakal,

    7. ridha.

    Abu Thalib Al Makki

    1. taubat,

    2. sabar,

    3. syukur,

    4. harapan (raja’),

    5. takut (khauf),

    6. zuhud,

    7. tawakal,

    8. ridha,

    9. cinta (mahabbah)

    As Suhrawardi

    1. taubat,

    2. wara’,

    3. zuhud,

    4. sabar,

    5. fakir,

    6. syukur,

    7. takut (khauf),

    8. harapan (raja’),

    9. tawakal,

    10. Ridha

    Ibnu ‘Atha’llah  As  Sakandari

    1. taubat,

    2. zuhud,

    3. sabar,

    4. syukur,

    5. takut (khauf),

    6. harapan (raja’),

    7. tawakal,

    8. ridha,

    9. cinta (mahabbah)

    Imam Al Ghazali

    1. taubat,

    2. sabar,

    3. syukur,

    4. harapan (raja’),

    5. takut (khauf),

    6. fakir,

    7. zuhud,

    8. tauhid,

    9. tawakal,

    10. cinta (mahabbah)



     

    Sumber:

    Sukarja Salam, Sigit Purnama, Ponijo, dkk. (2017). Ke-NU-An, Ahlussunah Waljama’ah An-Nahdliyyah untuk Kelas 11 SMA/MA/MAK Kurikulum 2013. Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta

    Demikian, Materi Ke-NU-An, Ahlussunah Waljama’ah An-Nahdliyyah untuk Kelas 11 Kurikulum 2013 Semester 1 Bab 1 Mengenal Ahlussunnah Wal Jama’ah yang dapat kami sajikan. Semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan bagi kita dalam mempelajari Ahlussunah Waljama’ah An-Nahdliyyah. Terima kasih 😊

    Post a Comment

    "Terima kasih Anda telah mengunjungi blog kami. Kami berharap Anda dapat memberikan saran, kritik, ataupun dukungan yang positif dan membagun agar kami dapat melakukan perbaikan pada artikel blog kami."

    Lebih baru Lebih lama